Hukum Shalat Ied Wajib Atau Sunnah
HUKUM SHALAT ‘IED WAJIB ATAU SUNNAH
Oleh
Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani
Pertanyaan.
Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani ditanya : Tentang dua orang yang berselisih pendapat mengenai shalat ‘Ied, apakah hukumnya wajib, atau sunnah yang bila dilaksanakan akan berpahala tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa.
Jawaban
“Berkaitan dengan persoalan ini, ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan Ulama :”
- Shalat ‘Ied hukumnya sunnah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) Ulama.
- Fardhu Kifayah, artinya (yang penting) dilihat dari segi adanya shalat itu sendiri, bukan dilihat dari segi pelakunya. Atau (dengan bahasa lain, yang penting) dilihat dari segi adanya sekelompok pelaku, bukan seluruh pelaku. Maka jika ada sekelompok orang yang melaksanakannya, berarti kewajiban melaksanakan shalat ‘Ied itu telah gugur bagi orang lain. Pendapat ini adalah pendapat yang terkenal di kalangan madzhab Hambali.
- Fardhu ‘Ain (kewajiban bagi tiap-tiap kepala), artinya ; berdosa bagi siapa yang meninggalkannya. Ini adalah pendapat madzhab Hanafiyah serta pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Dalil-Dalil
Para pendukung pendapat pertama berdalil dengan hadits yang muttafaq ‘alaih, dari hadits Thalhah bin Ubaidillah, ia berkata :
“Telah datang seorang laki-laki penduduk Nejed kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kepalanya telah beruban, gaung suaranya terdengar tetapi tidak bisa difahami apa yang dikatakannya kecuali setelah dekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Shalat lima waktu dalam sehari dan semalam”. Ia bertanya lagi : Adakah saya punya kewajiban shalat lainnya ?. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja”. Beliau melanjutkan sabdanya :”Kemudian (kewajiban) berpuasa Ramadhan”. Ia bertanya : Adakah saya punya kewajiban puasa yang lainnya ?. Beliau menjawab :”Tidak, melainkan hanya amalan sunnah saja”. Perawi (Thalhah bin Ubaidillah) mengatakan bahwa kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan zakat kepadanya. Iapun bertanya ;”Adakah saya punya kewajiban lainnya ?. “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”Tidak, kecuali hanya amalan sunnah saja”. Perawi mengatakan :”Setelah itu orang ini pergi seraya berkata : Demi Allah, saya tidak akan menambahkan dan tidak akan mengurangkan ini”. (Menanggapi perkataan orang itu) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :”Niscaya dia akan beruntung jika ia benar-benar (melakukannya)”.
Mereka (para pendukung pendapat kesatu) mengatakan : Hadits ini menunjukkan bahwa shalat selain shalat lima waktu dalam sehari dan semalam, hukumnya bukan wajib (Fardhu) ‘Ain (bukan kewajiban perkepala). Dua shalat ‘Ied termasuk kedalam keumuman ini (yakni bukan wajib melainkan hanya sunnah saja, -pen). Pendapat ini di dukung oleh sejumlah Ulama diantaranya Ibnu al-Mundzir dalam “Al-Ausath IV/252”.
Sedangkan pendukung pendapat kedua, yakni berpendapat bahwa shalat ‘Ied adalah Fardhu Kifayah, berdalil dengan argumentasi bahwa shalat ‘Ied adalah shalat yang tidak diawali adzan dan iqamat. Karena itu shalat ini serupa dengan shalat jenazah, padahal shalat jenazah hukumnya fardhu kifayah. Begitu pula shalat ‘Ied juga merupakan syi’ar Islam. Disamping itu, mereka juga berdalil dengan firman Allah :
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu) “. [Al-Kautsar/108 : 2] Ayat ini berkaitan dengan perintah melaksanakan shalat ‘Ied, yakni ‘Iedul Adha, wallahu a’lam, red
Mereka juga berkeyakinan bahwa pendapat ini merupakan titik gabung antara hadits (kisah tentang) Badui Arab (yang digunakan sebagai dalil oleh pendapat pertama) dengan hadist-hadits yang menunjukkan wajibnya shalat ‘Ied. Perhatikanlah Al-Mughni II/224.
Sementara para pengikut pendapat ketiga berdalil dengan banyak dalil. Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mendukung pendapat ini.
Beliau mengukuhkan dalil-dalil yang menyatakan (bahwa shalat ‘Ied adalah) wajib ‘Ain (kewajiban perkepala). Beliaupun menyebutkan bahwa para shahabat dulu melaksanakan shalat ‘Ied di padang pasir (tanah lapang) bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan keringanan kepada seorangpun untuk melaksanakan shalat tersebut di Masjid Nabawi.
Berarti hal ini menunjukkan bahwa shalat ‘Ied termasuk jenis shalat Jum’at, bukan termasuk jenis shalat-shalat sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak pernah membiarkan shalat ‘Ied tanpa khutbah, persis seperti dalam shalat Jum’at. Hal semacam ini tidak didapati dalam Istisqa’ (do’a meminta hujan), sebab Istisqa’ tidak terbatas hanya dalam shalat dan khutbah saja, bahkan Istisqa’ bisa dilakukan hanya dengan berdo’a di atas mimbar atau tempat-tempat lain. Sehingga karena itulah Abu Hanifah Rahimahullah membatasi Istisqa’ hanya dalam bentuk do’a, ia berpandangan bahwa tidak ada shalat khsusus untuk istisqa’.
Begitu pula, sesungguhnya ada riwayat yang jelas dari Ali (bin Abi Thalib) Radhiyallahu ‘anhu, yang menugaskan seseorang untuk mengimami shalat (‘Ied) di Masjid bagi golongan kaum Muslimin yang lemah. Andaikata shalat ‘Ied itu sunnah, tentu Ali tidak perlu menugaskan seseorang untuk mengimami orang-orang yang lemah di Masjid. Karena jika memang sunnah, orang-orang lemah ini tidak usah melaksanakannya, tetapi toh Ali tetap menugaskan seseorang untuk mengimami mereka di Masjid, berarti ini menunjukkan wajib, sehingga orang-orang lemahpun tetap harus melaksanakannya -red).
Dalil lain ialah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar kaum wanita keluar (ke tanah lapang) walaupun sedang haidh guna menyaksikan barakahnya hari ‘Ied dan do’a kaum Mukminin. Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para wanita haidh untuk keluar (ke tanah lapang) -padahal mereka tidak shalat-, apalagi bagi para wanita yang sedang dalam keadaan suci. Ketika ada diantara kaum wanita berkata kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa :”Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab (kain menutupi seluruh tubuh wanita dari atas kepala hingga ujung kaki, -pen), beliau tetap tidak memberikan keringan kepada mereka untuk tidak keluar, beliau bahkan menjawab :
لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Hendaknya ada yang meminjamkan jilbab untuknya“. [Hadits shahih, muttafaq ‘alaihi, sedangkan lafalnya adalah lafal Imam Muslim]
Padahal dalam shalat Jum’at dan shalat berjama’ah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (bagi para wanita).
وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Dan (di dalam) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka“.
Juga bahwa shalat Jum’at ada gantinya bagi kaum wanita serta kaum musafir, berbeda dengan shalat ‘Ied (yang tidak ada gantinya). Shalat ‘Ied hanya satu atau dua kali dalam satu tahun, berlainan dengan shalat Jum’at yang terulang sampai lima puluh kali atau lebih (dalam satu tahun). Sementara itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan (ummatnya) untuk melaksanakan shalat ‘Ied, memerintahkan (agar ummatnya) keluar menuju shalat ‘Ied. Beliau dan kemudian di susul para Khalifahnya serta kaum Muslimin sesudahnya terus menerus melakukan shalat ‘Ied. Demikian pula tidak pernah sekalipun diketahui bahwa di negei Islam shalat ‘ied ditinggalkan, sedangkan shalat ‘Ied termasuk syi’ar Islam yang paling agung. Firman Allah berbunyi.
وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ
“Dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya“. [Al-Baqarah/2 : 185].
Pada ayat itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan bertakbir pada hari Iedul Fitri dan Iedul Adha. Artinya, pada hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan shalat yang meliputi adanya takbir tambahan, sesuai dengan cara takbir pada raka’at pertama dan raka’at kedua. [Demikianlah secara ringkas apa yang dikemukakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah disertai sedikit penambahan keterangan dan pengurangan. Lihat Majmu’ Fatawa XXIV/179-183].
Imam Shana’ani, dan Shidiq Hasan Khan dalam “Ar-Raudhah An-Nadiyah” menambahkan bahwa apabila (hari) ‘Ied dan Jum’at bertemu, maka (hari) ‘Ied menggugurkan kewajiban shalat Jum’at. Padahal shalat Jum’at adalah wajib, tidak ada yang bisa menggugurkan kewajiban ini melainkan yang menggugurkannya pasti merupakan perkara yang wajib. [Lihat pula Subul as-Salam II/141].
Mereka (para ahli pendapat ketiga ini) membantah dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat pertama, bahwa hadits (yang mengisahkan persoalan) orang Badui Arab itu mengandung beberapa kemungkinan.
- Mungkin karena orang Badui Arab itu tidak berkewajiban melaksanakan shalat Jum’at, sehingga apalagi shalat ‘Ied.
- Mungkin pula karena hadits tentang Badui Arab itu (khusus menerangkan) masalah kewajiban shalat dalam sehari dan semalam (bukan mengenai kewajiban setiap tahun). Padahal shalat ‘Ied termasuk kewajiban shalat yang bersifat tahunan, bukan kewajiban harian. [Kemungkinan kedua ini dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim Rahimahullah dalam “Kitab ash-Shalah” halaman 39].
Hadist (kisah tentang) Badui Arab inipun masih bisa dibantah (dari sisi lain, yaitu bahwa) keterangan umum pada hadits itu (mengenai shalat wajib hanyalah shalat lima waktu dalam sehari dan semalam) telah dikhususkan dengan shalat nadzar, yaitu shalat yang seseorang mewajibkan dirinya untuk melaksanakannya karena nadzar (maksudnya : seseorang yang bernadzar untuk melaksanakan shalat, maka shalat itu hukumnya wajib untuk dilaksanakan, padahal itu tidak tertuang dalam hadits (kisah tentang Badui Arab, -red). Jika argumentasi ini dibantah bahwa tentang kewajiban shalat nadzar ada dalilnya tersendiri, maka demikian pula kewajiban shalat ‘Ied juga ada dalilnya tersendiri. Jika dibantah lagi bahwa tentang kewajiban shalat nadzar diakibatkan karena seseorang mewajibkan dirinya (dengan nadzar) untuk melaksanakan shalat tersebut, maka apalagi shalat yang kewajibannya ditetapkan oleh Allah untuknya, tentu kewajiban melaksanakan shalat baginya itu lebih nyata daripada melaksanakan shalat yang ia wajibkan sendiri.
[Tulisan ini merupakan terjemahan dari fatwa Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani murid senior dari Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i berkaitan dengan hukum Shalat ‘Ied dan Takbir pada hari ‘Ied dari kitab Silsilah al-Fatawa Asy-Syar’iyah No. 8 bulan Muharram dan Shafar 1419H, soal jawab No. 131 dan 137. Dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 07/Th III/1419-1998M.]
Adapun argumentasi yang digunakan oleh orang yang mengatakan bahwa shalat ‘Ied hukumnya Fardhu Kifayah berdasarkan ayat.
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ
“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkorbanlah (karena Rabbmu) “. [Al-Kautsar/108 : 2].
Atau bahwa shalat ‘Ied merupakan syi’ar Islam, maka dalil ini justru lebih mendukung pendapat yang mengatakan bahwa shalat ‘Ied hukumnya Wajib ‘Ain (wajib bagi tiap-tiap kepala).
Mengenai qiyas yang mereka lakukan terhadap shalat jenazah bahwa shalat ‘Ied adalah shalat yang tidak didahului adzan maupun iqamat (Qamat) hingga mirip dengan shalat jenazah, maka qiyas itu adalah qiyas yang berlawanan dengan nash.
Disamping itu, sesungguhnya telah dinyatakan bahwa manusia tidak membutuhkan adzan bagi shalat ‘Ied, adalah karena:
- Mereka keluar (untuk shalat) menuju tanah lapang, dan karena jauhnya dari tempat -tempat pemukiman.
- (Sebelumnya) Mereka telah menunggu-nunggu untuk memasuki malam hari raya, sehingga telah bersiap sedia untuk melaksanakan shalat ‘Ied (pada pagi harinya), dan telah menghentikan segala kesibukan lain (sehingga mereka tidak lagi memerlukan adanya adzan, -red), berbeda keadaannya dengan shalat yang lima waktu. Wallahu ‘alam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan :”Siapa yang berpendapat shalat ‘Ied itu Fardhu Kifayah, maka perlu dikatakan kepadanya bahwa hukum Fardhu Kifayah hanya terjadi pada sesuatu yang maslahatnya dapat tercapai jika dilakukan oleh sebagian orang, misalnya menguburkan jenazah atau mengusir musuh. Sedangkan shalat ‘Ied maslahatnya tidak akan tercapai jika hanya dilakukan oleh sebagian orang. Kemudian kalau maslahat shalat ‘Ied ini (dapat dicapai dengan hanya sebagian orang) berapakah jumlah orang yang dibutuhkan agar maslahat shalat tersebut dapat tercapai ..? Maka sekalipun dapat diperkirakan jumlah tersebut, tetapi pasti akan menimbulkan pemutusan hukum secara pribadi, sehingga mungkin akan ada yang menjawab ; satu orang, dua orang, tiga orang …. dan seterusnya”. [Dinukil dari Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah].
Imam Shana’ani, Imam Syaukani, guru kita Syaikh Al-Albani dan Syaikh kami Syaikh (Muhammad bin Shalih) Al-Utsaimin -hafizhallahu al-jami- berpegang kepada pendapat bahwa shalat ‘Ied adalah “Wajib ‘Ain. Saya pribadi cenderung mengikuti pendapat ini, sekalipun pada beberapa dalil yang digunakan oleh para pendukung pendapat ini ada yang perlu dilihat kembali, tetapi pendapat tersebut adalah pendapat yang dalilnya paling kuat dibandingkan dalil-dalil pendapat lainnya.
Kendatipun saya takut menyelisihi jumhur (mayoritas) ahli ilmu (Ulama), namun dalam hal ini saya lebih menguatkan pendapat yang mengatakan (shalat ‘Ied) hukumnya Wajib ‘Ain, berdasarkan kekuatan dalil yang (menurut saya) mereka gunakan, terutama karena sejumlah Ulama juga berpendapat seperti ini.
Begitulah kiranya sikap adil (tidak taklid).
Wallahu a’lam
TAKBIR PADA SAAT ‘IED KERAS-KERAS ATAU PELAN-PELAN .?
Pertanyaan.
Syaikh Abu al-Hasan Mustafa as-Sulaimani ditanya : “Apakah seseorang yang pergi untuk menunaikan sahalat ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha (mesti) bertakbir ..?. Jika mesti bertakbir apakah dengan suara keras atau dengan suara pelan ?”
Jawaban.
Bertakbir pada saat pergi untuk menunaikan shalat ‘Ied terdapat dalam atsar-atsar shahih yang mauquf dan maqthu’ (yakni atsar-atsar/yang dilakukan para sahabat dan atau tabi’in), tetapi tidak benar jika dikatakan ada hadits marfu’ (dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang berkaitan dengan masalah ini.
Al-Faryabi mengeluarkan riwayat dalam “Ahkam Al-‘Idain” No. 53, bahwa Ibnu Umar mengeraskan suara takbirnya pada hari ‘Iedul Fitri (sejak) ketika pergi (di pagi hari) menuju Mushala (tanah lapang tempat melaksanakan Shalat ‘Ied), sampai hadirnya Imam untuk melaksanakan shalat ‘Ied. (Atsar ini, sanadnya hasan). Atsar ini ada yang meriwayatkannya secara marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), tetapi riwayat itu riwayat mungkar.
Dalam riwayat Hakim I/298 dan lainnya, disebutkan bahwa : Ibnu Umar pada dua hari raya (Iedul Fitri dan Iedul Adha) keluar dari Masjid (setelah shalat shubuh, -red), kemudian beliau bertakbir hingga tiba di Mushala (tanah lapang tempat dilaksanakan shalat ‘Ied). Sanadnya hasan.
Syu’bah juga pernah bertanya kepada Al-Hakam dan Hammad : “Apakah saya (mesti) bertakbir ketika saya keluar menuju shalat ‘Ied.?” Keduanya menjawab : “Ya” [Atsar ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan No. 5626, sedangkan sanadnya hasan].
Kemudian dalam riwayat Al-Baihaqi III/279, melalui jalan Tamim bin Salamah, ia (Tamim) Berkata : “Ibnu Zubair keluar pada hari raya Kurban, ia tidak melihat orang-orang bertakbir, maka ia berkata :”Mengapa mereka tidak bertakbir .?. Ketahuilah, demi Allah apabila mereka mengumandangkan takbir, tentu engkau akan melihat kami dalam (barisan) pasukan yang tidak dapat dilihat ujungnya, yaitu seseorang (diantara kami) bertakbir, lalu disusul orang berikutnya hingga berguncanglah pasukan itu karena gema takbir. Memang ternyata perbedaan antara kalian dengan mereka (generasi shahabat) adalah ibarat bumi yang rendah dengan langit yang tinggi” [Sanad atsar ini shahih].
Sementara itu Abu Hanifah -dalam salah satu riwayat yang berasal darinya- berpendapat bahwa mengumandangkan takbir secara keras hanya ada pada hari Raya Kurban, tidak pada hari Raya Fitri, ketika pagi-pagi berangkat menuju mushala. Ia berdalil berdasarkan atsar yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah No. 5629, melalui jalan Syu’bah maula Ibnu Abbas.
Dalam atsar itu diceritakan bahwa Syu’bah berkata :
“Saya menuntun Ibnu Abbas pada suatu hari raya, ia mendengar orang-orang mengumandangkan takbir, maka ia bertanya :”Orang-orang itu sedang ada apa ?”. Saya menjawab :”Mereka bertakbir”. Ia bertanya ;”Apakah imam sedang bertakbir?” Saya menjawab :”Tidak!”. Ia berkata :”Apakah orang-orang sudah gila .?
[Ini adalah atsar yang sanadnya dha’if/lemah, sebab Syu’bah meriwayatkan riwayat-riwayat yang mungkar dari Ibnu Abbas. Mungkin yang dimaksudkan Ibnu Abbas olehnya adalah Ibnu Abbas yang lain. Kalaupun kita katakan bahwa Syu’bah meriwayatkan kisah itu secara tepat, namun ‘illat (penyakit)nya ada pada Abu Dzi’b, seorang muridnya, yang ada dalam sanad dimana ia meriwayatkan atsar tersebut melalui berbagai sisi, dan periwayatannyapun mudtharib (goncang/tidak mantap].
Tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (sebuah ayat yang berkaitan dengan takbir pada ‘Iedul Fitri) :
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ
“Dan hendaklah kamu menyempurnakan bilangannya (bulan Ramadhan), dan hendaklah kamu bertakbir (mengagungkan) kepada Allah atas petunjuk-Nya” [Al-Baqarah /2: 185]
Sebagian pengikut madzahb Hanafi menjawab bahwa yang dimaksud dengan takbir dalam ayat itu adalah takbir dalam shalat, atau yang dimaksud adalah mengagungkan Allah, berdasarkan firman Allah dalam ayat lain.
وَكَبِّرْهُ تَكْبِيْرًا
“Dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya“.[Al-Israa’/17 : 111].
Tetapi pembatasan makna seperti itu pada ayat di atas tidak benar, sebab makna ayat tersebut lebih umum dari sekedar takbir dalam shalat atau sekedar mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Imam Thahawi, beliau adalah juga seorang pengikut madzhab Hanafi -justru menguatkan pernyataan bahwa kedua hari ‘Ied (hari raya) itu (yakni ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha) adalah satu. Pembedaan (hukum) antara kedua hari raya tersebut tidak ada dalilnya. Itulah pedapat kebanyakan Ulama, dan itu pulalah apa yang dilakukan oleh para Salaf (Lihat Mukhtashar Ikhtilaf al-Ulama, karya Imam Thahawi I/376-378, Bada-i ash-Shana-i’, karya al-Kasani I/415 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab IX/31-32).
Catatan Penting.
Wanita juga ikut bertakbir apabila aman dari fitnah, tetapi tidak perlu sekeras suara kaum laki-laki. Dasarnya adalah hadits Ummu ‘Athiyah. Bisa dilihat dalam Fathul Bari Ibnu Rajab IX/33).
Catatan Redaksi.
Berdasarkan atsar-atsar di atas, maka terbukti ada tuntunan untuk takbir dengan suara keras menjelang shalat ‘Iedul Fitri dan ‘Iedul Adha.
Wallahu a’lam.
[Tulisan ini merupakan terjemahan dari fatwa Syaikh Abu al-Hasan Mustafa bin Ismail as-Sulaimani murid senior dari Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i berkaitan dengan hukum Shalat ‘Ied dan Takbir pada hari ‘Ied dari kitab Silsilah al-Fatawa Asy-Syar’iyah No. 8 bulan Muharram dan Shafar 1419H, soal jawab No. 131 dan 137. Dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 07/Th III/1419-1998M.]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/327-hukum-shalat-ied-wajib-atau-sunnah.html